Oleh: M. Abdullah Badri

kefitrahan itu lenyap atau bahkan mengarah kepada kelatahan-kelatahan laku moral tak bertanggungjawab. Tujuannya, agar cinta tak melahirkan episode-episode tragis berupa aborsi, frustasi, gantung diri hingga pembunuhan kekasih, sebagaimana disebut BMA sebagai “romantisme yang menjelma menjadi sesuatu yang brengsek dan tai kucing.” (hlm. 27)
BMA mempersembahkan buku ini kepada para remaja. Momen tumbuhnya cinta remaja, dimulai saat pandangan pertama atau karena keterbiasaan bertemu, bersapa ria bersama, akan dekat dengan hasrat kontak secara fisik, karena unsur cinta, menurut Robert J. Sternberg, seperti dikutip BMA, adalah keintiman (merasa dekat, mengikat dan menyatu hati), gairah (ketertarikan fisik dan seksual) dan komitmen (keputusan berpacaran atau menikah). (hlm. 33).

Agar terhindar dari kelatahan laku cinta nestapa, sebagaimana penulis buku remaja dan cinta pada umumnya, BMA mengusulkan agar menjaga pergaulan (Ghadl al-Bashar) atau paling tidak riyadlah puasa, seperti kata Nabi. BMA mengajak atau membujuk dengan bijak kepada para remaja menyetop budaya pacaran untuk berganti menuju bangunan hubungan yang halal dan berpahala, menikah. Pacaran, kata BMA, adalah gerbang menuju seks pra-nikah. Pacaran jarak jauh (Long Disk Relationship, LDR), kata BMA, tak ada beda dengan pacaran jarak dekat. Mengapa? LDR justru lebih dekat dengan penyakit hati, atau disebut zina hati. Lho kok?
Dengan mengutip beberapa data di media massa yang ditebar di beberapa halaman buku, BMA membuktikan bahwa romantisme cinta yang tanpa manajemen seringkali membawa nestapa. Barangkali, saya melihat perbedaan dan kelebihan buku ini ada dalam pengikutsertaan data dan pengalaman beberapa orang dalam sajian bukti-bukti teori cinta itu.
* * *
Karena pacaran, seiring dinamika perkembangan remaja, sudah menjadi habitus dalam relasi sosialnya, mewacanakan penghapusan ekspresi cinta erotis itu –meminjam bahasa Eric Fromm- adalah upaya yang membutuhkan waktu. Karena sudah menjadi habitus, pelarangan harus membutuhkan logika-logika rasional yang dapat diterima remaja. Kalau hanya sekadar menyertakan analisis deskriptif yang cenderung menggunakan bahasa-bahasa instruktif, bahwa pacaran itu tidak baik, melanggar syariat dan dekat kepada fakhisyah (keburukan), pesan yang disampaikan BMA dalam buku ini akan kurang menggigit. Apalagi dia hanya menunjukkan tempat bertumbuhnya cinta sejati: rumah tangga. Ibarat orang mencari lokasi wisata, o, itu loh tempat yang menyenangkan itu. Begitulah, BMA hanya menerangkan, tapi tidak menunjukkan tempuhan jalan menuju ke lokasi tersebut. BMA hanya menyatakan, cinta sejati itu hanya ada dalam ikatan tanggungjawab berat (mitsaqon ghalidha), yakni menikah. Penulis sengaja tidak menjelaskan media ekspresi cinta seperti apa untuk menjemput jodoh, selain kenalan atau pacaran. (lihat: 121). Itulah kekurangan buku ini.
BMA juga cenderung menyalahkan kultur orang tua sekarang yang memandang masa depan rumah tangga anaknya secara materi saja, sembari mengutip kultur salafush shalih era Nabi, yang meskipun tanpa modal, tetap berani melangsungkan pernikahan, karena orang tua sadar, nikah adalah kebaikan.
Namun, buku ini tetap menarik karena di akhir bab disertakan juga bagaimana mempersiapkan diri menuju “mitsaqan ghalidza”. BMA mengajak pembaca muda untuk mempersiapkan diri dengan ilmu, arti tanggungjawab, pentingnya persiapan menerima kehadiran anak, baik secara psikis, materi maupun ruhiah, agar cinta erotis tetap eksotis. Itulah manfaat buku ini, mempersiapkan manajemen cinta erotis itu. Kalau segenap pembaca resensi ini tertarik menuju jalinan cinta abadi yang eksotis, sama dengan saya. Semoga lekas![ ]
*) Peresensi adalah Mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar